Rabu, 01 Mei 2013

Blusukan Yogyakarta 29-31 Maret 2013

“Petugas darat Garuda di Bandara Soetta cukup jeli. Ia meminta airport tax setelah melihat tiket saya dibeli pada 16 Juli 2012.” Demikian gumam saya dalam hati saat duduk di dalam GA 218 seat 15A tanggal 29 Maret 2013 menjelang tinggal landas yang mundur sekitar setengah jam dari jadwal seharusnya pukul 19.30.

GA 218 siap meninggalkan Bandara Soetta
GA 218 Tiba di Yogyakarta
Garuda memang telah memasukkan airport tax ke dalam harga tiket mulai 28 September 2012. Jadi, untuk pembelian tiket sebelum tanggal tersebut tetap diwajibkan membayar airport tax. Hal yang serupa ternyata tidak diperhatikan oleh petugas darat di Bandara Yogyakarta (“Yogya”) 31 Maret 2013 saat penerbangan pulang ke Jakarta dengan GA 209. Maka, saya pun terbebas dari pembayaran airport tax dan duduk manis di seat 15E pada penerbangan pukul 14.15 siang itu.

Lagi-lagi kunjungan ke Yogya kali ini merupakan hasil perburuan tiket promo. Saya mendapkan tiket dengan harga Rp. 253.600,- sekali jalan. Pulang dan pergi mendapatkan harga yang sama. Melihat aktivitas yang saya lakukan selama di Yogya, saya memberikan tema kunjungan kali ini sebagai kunjungan blusukan. Saya mengunjungi tempat-tempat yang bukan merupakan obyek wisata populer yang banyak dikunjungi wisatawan.

Saya mengawali hari Sabtu (30 Maret 2013) dengan sarapan Kupat Tahu Magelang Bu Budi yang terletak di perkampungan. Lokasinya di Jalan Godean Km. 8 sisi selatan jalan, masuk gang kurang lebih 100 meter dan ada di sebelah kiri gang. Aroma bumbu kecapnya begitu segar. Sayur kubisnya terlihat hijau cerah karena pemanasan yang pas, tidak terlalu matang. Harga yang harus saya bayar untuk seporsi kupat tahu dan segelas es jeruk nipis cukup Rp. 6.500,- (enam ribu lima ratus rupiah) saja. “Mana ada menu makanan sekaligus minum seharga ini di ibukota negara Jakarta!”, batin saya.












Tuntas sarapan, saya meluncur ke tempat yang tidak bagitu jauh dari lokasi sarapan. Sasaran saya adalah tempat yang tengah menjadi perbincangan heboh dan kontroversial di media, yaitu Lapas Cebongan. Lapas ini ternyata ada di daerah, bukan pusat kota. Depan lapas hanyalah jalan kecil dimana untuk berpapasan dua mobil pun harus berjalan pelan. Seberang lapas terhampar sawah dengan tanaman padi yang tengah menguning. Beberapa meter menjelang sampai lapas, saya bahkan melihat seekor ular sepanjang kurang lebih dua meter melintas jalan dan menghilang di balik rimbunnya tanaman padi.



Tuntas sarapan, saya meluncur ke tempat yang tidak bagitu jauh dari lokasi sarapan. Sasaran saya adalah tempat yang tengah menjadi perbincangan heboh dan kontroversial di media, yaitu Lapas Cebongan. Lapas ini ternyata ada di daerah, bukan pusat kota. Depan lapas hanyalah jalan kecil dimana untuk berpapasan dua mobil pun harus berjalan pelan. Seberang lapas terhampar sawah dengan tanaman padi yang tengah menguning. Beberapa meter menjelang sampai lapas, saya bahkan melihat seekor ular sepanjang kurang lebih dua meter melintas jalan dan menghilang di balik rimbunnya tanaman padi.




Tempat ini ternyata berada tidak jauh dari ibukota kecamatan. Cukup ramai untuk ukuran kecamatan. Daerah yang sekilas nampak aman sebenarnya karena tak jauh dari lokasi tedapat Kantor Polsek dan Kantor Koramil. Ada juga Puskesmas di dekat lokasi.

Tempat ini sedang menjadi pusat perhatian saat saya berkunjung. Terlihat beberapa mobil operasional stasiun televisi terparkir di halaman. Ada juga reporter televisi yang tengah mengambil gambar dan melakukan reportase dari lokasi.


















Kunjungan saya bertepatan dengan waktu berkunjung bagi penghuni lapas. Beginilah suasana prosedural mengunjungi sanak saudara tau kerabat yang berada di lapas. 











Sabtu (30 Maret 2013) sore, saatnya mencicipi ayam goreng jawa Mbah Cemplung. Jangan dibayangkan tempat makan ini berlokasi di daerah strategis (pusat keramaian) yang biasa dikunjungi orang atau di pinggir jalan raya. Lokasi tepatnya ada di desa Sembungan, kelurahan  Bangunjiwo, kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul. Lokasinya yang berada di kawasan pedesaan (luar kota Yogya) dan bukan jalur lalu lintas angkutan umum menyebabkan tempat makan ini susah dicari bagi orang yang hanya sesekali ke Yogya. Tempat populer yang sering dijadikan acuan apabila hendak menuju lokasi ini adalah sentra kerajinan gerabah Kasongan atau pabrik gula Madukismo.



Gerbang Masuk Ayam Goreng Mbah Cemplung
Dari pinggir jalan mungkin kita tak akan mengira bahwa tempat makan ini begitu luas karena lokasinya, terutama tempat parkirnya, yang menjorok ke dalam sehingga tak terlihat adanya mobil atau motor pelanggan yang parkir berderet-deret di tepi jalan. Parkir pun tidak berada di pinggir jalanMeski telah melewati waktu makan siang, tempat makan ini masih saja dikunjungi oleh banyak pelanggan. Mobil-mobil luar kota Yogya berjejer di tempat parkir.


Tempat Makan Mbah Cemplung di Atas



















Minggu (31 Maret 2013) pagi sebelum balik ke Jakarta, saya sempatkan meninjau obyek yang tengah menjadi perbincangan di media, yaitu harta sitaan KPK di Yogya. Obyek tersebut berupa tiga bidang tanah berikut rumah (bangunan) di atasnya yang berlokasi di Jalan Langenastran Kidul Nomor 7  dan Jalan Patehan Lor Nomor 34 & 36A (dua lokasi yang bersebelahan pada bagian belakang). Dilihat dari peta, tanah dan bangunan milik mantan Kepala Korlantas Inspektur Jenderal (Pol) Djoko Susilo (“Djoko”) ini berada pada jalan yang segaris, hanya saja dipisahkan oleh Alun-alun Selatan dan berada di Kompleks Jeron Beteng Keraton Yogya.







Obyek yang berada di Jalan Langenastran Kidul Nomor 7 (sisi timur Alun-alun Selatan) merupakan lahan seluas 600 meter persegi dan di atasnya terdapat rumah yang tergolong kuno. Sebagaimana tertera di tembok depan, rumah ini biasa disebut Dalem Supraban karena dahulu rumah tersebut milik Sugeng Suprobo, salah seorang kerabat keraton keturunan Sultan Hamengku Buwono VII. Rumah ini pernah dikontrak oleh Yayasan Longstay Indonesia-Jepang, dibeli Djoko tahun 2010 seharga Rp 2 miliar dan diatasnamakan putrinya yang bernama Poppy.

Obyek yang berada Jalan Patehan Lor Nomor 34 & 36A (sisi timur Alun-alun Selatan) merupakan lahan seluas 1.000 meter persegi. Di atasnya berdiri rumah kuno yang dibangun tahun 1921 dan direnovasi tahun 1988. Obyek ini sebelumnya tercatat dimiliki oleh Ariono, kemudian dibeli oleh Djoko seharga sekitar Rp 4 miliar (nomor 34)  & dan Rp. 300 juta (nomor 36A).


Pintu Gerbang Jln. Patehan Lor No. 34



Jln. Patehan Lor No. 34

Jln. Patehan Lor  No. 36 A


Minggu (31 Maret 2013) saya pun mengakhiri kunjungan blusukan ke Yogya untuk kesempatan kali ini. Garuda dengan nomor penerbangan GA 209 menghantarkan saya sampai dengan Bandara Soetta pada petang hari yang cerah.



Tiba Kembali di Bandara Soetta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar